Senin, 11 Juli 2011

Sejarah pembuatan Kiswah (Selambu Ka'bah)

Pada ka’bah kita sering melihat adanya Kiswah (kain/selimut hitam penutup ka’bah). Tujuan dari pemasangan kain itu adalah untuk melindungi dinding ka’bah dari kotoran, debu, serta panas yang dapat membuatnya menjadi rusak. Selain itu kiswah juga berfungsi sebagai hiasan ka’bah.

Menurut sejarah, Kabah sudah diberi kiswah sejak zaman Nabi Ismail AS, putra Nabi Ibrahim AS. Namun tidak ada catatan yang mengisahkan kiswah pada zaman Nabi Ismail terbuat dari apa dan berwarna apa. Baru pada masa kepemimpinan Raja Himyar Asad Abu Bakr dari Yaman, disebutkan kiswah yang melindungi Ka’bah terbuat dari kain tenun.

Kebijakan Raja Himyar untuk memasang kiswah sesuai tradisi Arab yang berkembang sejak zaman Ismail as diikuti oleh para penerusnya. Pada masa Qusay ibnu Kilab, salah seorang leluhur Nabi Muhammad yang terkemuka, pemasangan kiswah pada Kabah menjadi tanggung jawab masyarakat Arab dari suku Quraisy. Nabi Muhammad SAW sendiri juga pernah memerintahkan pembuatan kiswah dari kain yang berasal dari Yaman. Sedangkan empat khalifah penerus Nabi Muhammad yang termasuk dalam Khulafa al-Rasyidin memerintahkan pembuatan kiswah dari kain benang kapas.

Sementara itu, pada era Kekhalifahan Abbassiyah, Khalifah ke-4 al-Mahdi memerintahkan supaya kiswah dibuat dari kain sutra Khuz. Pada masa pemerintahannya, kiswah didatangkan dari Mesir dan Yaman. Menurut catatan sejarah, kiswah tidak selalu berwarna hitam pekat seperti saat ini. Kiswah pertama yang dibuat dari kain tenun dari Yaman justru berwarna merah dan berlajur-lajur. Sedangkan pada masa Khalifah Mamun ar-Rasyid, kiswah dibuat dengan warna dasar putih. Kiswah juga pernah dibuat berwarna hijau atas perintah Khalifah An-Nasir dari Bani Abbasiyah (sekitar abad 16 M) dan kiswah juga pernah dibuat berwarna kuning berdasarkan perintah Muhammad ibnu Sabaktakin.

Penggantian kiswah yang berwarna-warni dari tahun ke tahun, rupanya mengusik benak Kalifah al-Mamun dari Dinasti Abbasiyah, hingga akhirnya diputuskan bahwa sebaiknya warna kiswah itu tetap dari waktu ke waktu yaitu hitam. Hingga saat ini, meskipun kiswah diganti setiap tahun, tetapi warnanya selalu hitam. Pada era keemasan Islam , tanggung jawab pembuatan maupun pengadaan kiswah selalu dipikul oleh setiap khalifah yang sedang berkuasa di Hijaz, Arab Saudi pada setiap masanya. Meskipun kiswah selalu menjadi tanggung jawab para khalifah, beberapa raja di luar tanah Hijaz pernah menghadiahkan kiswah kepada pemerintah Hijaz. Dulu, kiswah yang terbuat dari sutera hitam pernah didatangkan dari Mesir yang biayanya diambil dari kas Kerajaan Mesir. Tradisi pengiriman kiswah dari Mesir ini dimulai pada zaman Sultan Sulaiman yang memerintah mesir pada sekitar tahun 950-an H sampai masa pemerintahan Muhammad Ali Pasya sekitar akhir tahun 1920-an.

Ka’bah tanpa kiswah

Setiap tahun, kiswah-kiswah indah yang dibuat di Mesir itu diantar ke Makkah melewati jalan darat menggunakan tandu indah yang disebut mahmal. Kiswah beserta hadiah-hadiah lain di dalam mahmal datang bersamaan dengan rombongan haji dari Mesir yang dikepalai oleh seorang amirul hajj. Amirul hajj itu ditunjuk secara resmi oleh pemerintah Kerajaan Mesir. Dari Mesir, setelah upacara serah terima, mahmal yang dikawal tentara Mesir berangkat ke terusan Suez dengan kapal khusus hingga ke pelabuhan Jeddah. Setibanya di Hijaz, mahmal tersebut diarak dengan upacara sangat meriah menuju ke Mekkah.

Pengiriman kiswah dari Mesir pernah terlambat hingga awal bulan Dzulhijjah. Hal itu terjadi beberapa waktu setelah meletusnya Perang Dunia I. Keterlambatan pengiriman kiswah terjadi akibat suasana yang tidak aman dan kondusif akibat Perang Dunia I. Melihat situasi yang kurang baik pada saat itu, Raja Ibnu Saud (pendiri Kerajaan Arab Saudi) mengambil keputusan untuk segera membuat kiswah sendiri mengingat pada tanggal 10 Dzulhijjah, kiswah lama harus diganti dengan kiswah yang baru. Usaha tersebut berhasil dengan pendirian perusahaan tenun yang terdapat di Kampung Jiyad, Mekkah.

Setelah Perang Dunia I berakhir, Raja Farouq I dari Mesir kembali mengirimkan kiswah ke tanah Hijaz. Namun melihat berbagai kondisi pada saat itu, pemerintah Kerajaan Arab Saudi dibawah Raja Abdul Aziz Bin Saud memutuskan untuk membuat pabrik kiswah sendiri pada 1931 di Makkah. Hingga akhirnya kiswah dibuat di Arab Saudi hingga saat ini. Kain kiswah memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri. Pintalan-pintalan benang berwarna emas maupun perak bersatu padu merangkai goresan kalam Ilahi. kiswah menjadi sangat berharga, bukan hanya karena firman-firman Allah SWT yang suci yang dipintal pada kiswah, tetapi juga karena keindahan dan eksotisme pintalan benang berwarna emas dan perak pada permukaannya.

Perpaduan warna emas dan perak pada kaligrafi yang menghiasi kiswah tersebut memiliki nilai seni yang luar biasa. Sebab pembuatannya membutuhkan skill dan bakat yang luar biasa karena tidak semua orang mampu membuat seni seindah itu. Kiswah merupakan simbol kekuatan, kesederhanaan, juga keagungan.

Proses Pembuatan Kiswah

Kiswah pertama kali dibuat dibuat oleh seorang pengrajin bernama Adnan bin Ad dengan bahan baku kulit unta. Namun dalam perkembangannya, kiswah dibuat dari kain sutera. Untuk membuat sebuah kiswah memerlukan 670 kg bahan sutera atau sekitar 600 meter persegi kain sutera yang terdiri dari 47 potong kain. Masing-masing potongan tersebut berukuran panjang 14 meter dan lebar 95 cm. Ukuran itu sudah disesuaikan untuk menutupi bidang kubus Kabah pada keempat sisinya. Sedangkan untuk hiasan berupa pintalan emas diperlukan 120 kg emas dan beberapa puluh kg perak.

Sejak 1931, kiswah untuk menutupi Kabah diproduksi di sebuah pabrik yang terletak di pinggir kota Mekkah, Arab Saudi. Dalam pabrik tersebut, pembuatan kiswah dilakukan secara modern dengan menggunakan mesin tenun modern. Di pabrik kiswah yang areanya seluas 10 hektare itu dipekerjakan sekitar 240 perajin kiswah.

Dalam pabrik tersebut, kiswah dibuat secara massal. Di sanalah semuanya disiapkan dari perencanaan, pembuatan gambar prototipe kaligrafi, pencucian benang sutera, perajutan kain dasar, pembuatan benang dari berkilo-kilo emas murni dan perak hingga pada pemintalan kaligrafi dari benang emas maupun perak, lalu penjahitan akhir. Meskipun kiswah tampak hitam jika dilihat dari luar, namun ternyata bagian dalam kiswah itu berwarna putih. Salah satu kalimat yang tertera dalam pintalan emas kiswah adalah kalimah syahadat, Allah Jalla Jalallah, La Ilaha Illallah, dan Muhammad Rasulullah . Surat Ali Imran: 96, Al-Baqarah :144, surat Al-fatihah, surat Al-Ikhlash terpintal indah dalam benang emas untuk menghiasi kiswah.

Kaligrafi yang digunakan untuk menghias kiswah terdiri dari ayat-ayat yang berhubungan dengan haji dan Kabah juga asma-asma Allah yang dimuliakan. Hiasan kaligrafi yang terbuat dari emas dan perak tampak berkilau indah saat terkena cahaya matahari. Karena menggunakan bahan baku dari benda-benda yang sangat berharga seperti sutera, emas, maupun perak, harga kiswah ini menjadi sangat mahal sekitar Rp 50 miliar.

Sehingga setiap tahun Jawatan Wakaf Kerajaan Arab Saudi harus menyediakan dana sekitar Rp 50 miliar untuk pembuatan kiswah. Menurut sejarah, tradisi penggantian kiswah yang dilakukan setiap tahunnya sudah ada sejak masa Khalifah Al-Mahdi yang merupakan penguasa Dinasti Abbasiyah ke-IV. Tradisi tersebut bermula ketika, Khalifah al-Mahdi naik haji kemudian penjaga Kabah melapor kepadanya tentang kiswah yang pada saat itu sudah mulai rapuh dan dikhawatirkan akan jatuh. Mendengar laporan yang memprihatinkan itu, Al-Mahdi memerintahkan agar setiap tahun kiswah diganti.

Sejak saat itu, kiswah untuk Ka’bah selalu diganti setiap tahun pada musim haji dan menjadi sebuah tradisi yang harus selalu dijalankan. Dengan demikian tidak ada lagi kiswah yang kondisinya memprihatinkan. Pasalnya, setiap kiswah hanya memiliki masa pakai Ka’bah selama satu tahun. Bahkan, kiswah bekas dipakai Ka’bah ada yang dipotong-potong kemudian potongan tersebut dijual sebagai penghias rumah maupun kantor.

( sumber : http://nur-muslim.blogspot.com/2010/10/sejarah-dan-proses-pembuatan-kiswah.html, Rabu 16 Februari 2011, 11.37 wib )

Minggu, 03 Juli 2011

Hukumnya Celana Cingkrang

Memakai Celana di Bawah Lutut Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus. Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,
مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ
Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan. Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan. Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan. Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati. Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah. Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzin atau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.
KH Arwanie Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Do'a,bacaan Al-qur'an,Shodaqoh,dan Tahlil untuk orang mati

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda

Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

BID'AH

Fasal tentang Bid'ah (2)

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)

Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)